![]() |
Jendral A.H Nasution |
Jendral A.H Nasution
(sering disapa Pak Nas) dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan,
Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Kesederhanaan, idealisme dan kekuatan visinya
serta khusyuknya dalam beribadah tentulah dipengaruhi oleh keluarga dan
lingkungan sekitarnya. A.H Nasution adalah anak dari keluarga petani yang
bersahaja dan taat beragama. Beliau adalah anak kedua dari tujuh bersaudara.
Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.
Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.
Setelah lulus AMS-B
(setingkat SMA PASPAL) di tahun 1938, Nasution bekerja sebagai guru di Bengkulu
dan Palembang. Selepas itu, Nasution pun bergabung ke dalam Akademi Militer dan
sempat terhenti pendiidkannya karena invasi Jepang pada tahun 1942. Saat itu,
Belanda yang telah kuat armada militernya dapat diberangus oleh Jepang karena
tak mendapat dukungan dari rakyat. Sedangkan Jepang yang barusan masuk ke
Indonesia dengan mudahnya mengalahkan Belanda. Ini menjadi pelajaran bagi
Nasution bahwa dukungan rakyat sangatlah penting bagi militer.
Saat perang Revolusi
Kemerdekaan I (1946-1948), TNI bahu membahu bersama rakyat melakukan perang
gerilya atau disebut perang rakyat. Dan TNI bersama rakyat mendapat kemenangan
berhasil mengusir penjajah Belanda yang mau menjajah Indonesia kembali. Saat itu A.H Nasution diberi wewenang
memimpin Divisi Siliwangi. Pak Nas menarik kesimpulan berharga lagi bahwa
karena rakyat mendukung sepenuhnya maka perang bisa dimenangkan oleh TNI
bersama rakyat. Hal ini kemudian diterapkan dalam perang revolusi Kemerdekaan
II dimana beliau saat itu menjadi Panglima Komando Jawa (1948-1949).
Beliau adalah jendral
idealis yang sangat tekun beribadah. Beliau lebih memilih hidup sederhana
ketimbang menumpuk harta walau itu bisa saja dilakukannya mengingat posisinya
sebagai orang nomor satu di ABRI. Rumah beliau hingga pensiun tetaplah rumah
sederhana yang tak pernah direnovasi. Bahkan entah karena faktor apa, jaringan
PDAM rumahnya disabotase oleh orang yang tak menyukainya sehingga beliau harus
membuat sumur sendiri guna mendapatkan air bersih. Ternyata walau beliau orang
yang sangat jujur dan lurus juga masih ada saja yang tak menyukainya (lha wong
Nabi Muhammad saja yang sudah dijamin Allah akhlaknya juga masih memiliki
musuh, tak ada yang sempurna di dunia ini).
Walau sangat sibuk memimpin
TNI/ABRI, Pak Nasution juga manusia biasa yang pernah jatuh cinta. Pak Nas
memiliki hobi bermain tennis. Ketika bermain tennis, beliau berjumpa dengan
seorang gadis puteri kedua dari R.P Gondokusumo pengurus partain Indonesia Raya
(Parindra) yang bernama Johana Sunarti. Pak Nas akhirnya menikahinya dan
dikaruniai dua orang puteri yang cantik-cantik, salah satunya adalah Ade Irma
Suryani yang ikut gugur dalam peristiwa G 30 S/PKI.
Jadi Target
Pembunuhan, Dikucilkan Orba dan Dipersalahkan Reformasi
Jika kita menengok
sejarah, Pak Nas adalah salah satu target pembantaian pemimpin AD oleh PKI
namun lolos dan sebagai gantinya adalah nyawa puteri kesayangannya, Ade Irma
Suryani yang melayang terterjang peluru PKI.
Pak Nas pernah dituduh
sebagai musuh poitik Orba dan dikucilkan padahal beliau adalah salah satu
tonggak lahirnya Orba. Pak Nas lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang
agendanya memberhentikan Presiden Soekarno sebagai Presiden RI pada 1967.
Pak Nasution adalah
jendral yang berhati lembut. Beliau dua kali menitikkan air mata, pertama
ketika melepas jenazah ke tujuh Pahlawan Revolusi yang dibunuh PKI secara keji
. Dan yang kedua adalah ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke
rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan
Harapan.
Beliau juga adalah penggagas
Dwi Fungsi ABRI, namun beliau merasa bersalah ketika pelaksanaan dwi fungsi
ABRI di selewengkan guna mengekalkan kepemimpinan seseorang saja. Bahkan konsep
yang digagas Pak Nas ini akhirnya dihujat habis-habisan saat reformasi. Pak Nas
merasa turut bersalah dan sedih akan hal itu. Bukan itu maksud dari gagasannya.
Beliau juga tak berniat menjadikan ABRI sebagai alat poitik kekuasaan.
Usut punya usust yang
menjadikannya dimusuhi penguasa Orba adalah karena Pak Nas adalah salah satu
penandatangan petisis 50. Namun Pak Nas mengakui peran serta Soeharto dalam
memimpin pasukan Wehrkreise melakukan serngan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta
hingga berhasil. Walau Orba mengucilkannya, namun pada akhir hayatnya, Pak Nas
menerima gelar Jendral Besar dari pemerintah. Mungkin gelar tersebut sebagai
wujud terima kasih Soeharto pada jasa Pak Nas. Bagaimanapun juga Pak Nasution juga telah banyak berjasa dalam melahirkan Orba.
Pak Nas juga berjasa
dalam meletakkan dasar perang gerilya dalam melawan penjajah Belanda. Segala
pengajaran mengenai perang gerilya beliau tuangkan dalam sebuah buku yang berjudul Strategy of Guerrilla Warfare
dimana buku tersebut telah disadur ke beberapa bahasa asing serta menjadi buku
wajib militer di sekolah-sekolah elite militer di berbagai negara. Termasuk
sekolah elite militer di Amerika, West Point.
Menulis Buku
Ketika dirinya mulai
tersingkir dari dunia politik, yaitu ketika selesai menjadi pemimpin sidang
MPRS tahun 1972, beliau yang pernah menduduki posisi kunci utama TNI selama 13
tahun ini tak lantas menghiba-hiba meminta kursi politik. Walau sebenarnya
kharisma dan pengaruh beliau masih sangat besar dan bisa saja beliau menyususn
siasat untuk membuat dirinya kembali bertengger di kancah perpoltikan namun
beliau tak melakukan itu. Beliau cukup tahu diri posisinya. Dan beliau
memutuskan menyibukkan diri menulis buku memoar.
Pada 1986, lima dari tujuh jilid memoar
perjuangan A.H Nasution telah selesai ditulisnya dan telah beredar di pasaran.
Lima memoar ini masing-masing berjudul Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa
Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi
memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan.
Selain memoar, beliau juga menulis buku yang lain yang berjudul Pokok-Pokok
Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
Jendral A.H
Nasution V.S Presiden Soekarno
Jendral A.H Nasution sangat
mengagumi Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno. Menurut beliau, Bung Karno
adalah pemimpin yang sangat kharismatik. Walau begitu,, ketika Pak Nas memimpin
TNI, beliau juga kerap berseberangan dengan sang proklamator tersebut. Namun
kemudian akur kembali. Sebagai contoh, ketika terjadi pergolakan di dalam
Angkatan Darat tahun 1952, Pak Nas menilai sang Presiden terlalu ikut campur. Kemudian
pada “Peristiwa 17 Oktober”, ketika itu Jendral A.H Nasution ikut andil dalam
pembubaran DPRS dan menuntut dibentuknya DPR baru, sehingga diberhentikan oleh
presiden Soekarno.
Sempat tak akur beberapa
lama, pada tahun 1955 Bung karno rukun kembali dengan Pak Nas dan mengangkat
beliau menjadi ketua KSAD. Yaitu setelah adanya pemberontakann PRRI/Permesta
dimana Pak Nas dipercaya sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan
Kabinet Kerja.
Ketika selesai perang
pembebasan Irian Barat, kedua tokoh nasional ini terjadi cek-cok lagi
dikarenakan Bung Karno memberi kesempatan pada PKI yang nyata-nyata berhalauan
komunis untuk berkembang di INdonesia dimana Pak Nas sangat bertentangan engan
prinsip PKI.
Itulah kisah
putus-nyambung antara Ir soekarno dan Jendral A.H Nasution. Apapun yang
terjadi, Pak Nas tetaplah mengagumi sosok Ir Soekarno, jika ditanya alasannya
beliau menjawab “ Bung Karno sudah keluar masuk penjara gara-gara
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebelum saya faham apa itu perjuangan
kemerdekaan.”
Wafatnya Jendral
A.H Nasution
Semenjak kecil, Jendral
A.H Nasution sudah biasa hidup sederhana. Hal inipun beliau terapkan hingga
akhir hayatnya. Beliau meninggal di usia 82 tahun tepatnya 6 September 2000
(bulan yang sama ketika beliau menjadi target pembunuhan G 30S/PKI namun
meleset). Beliau tidak meninggalkan materi berlimpah. Hanya idealisme dan
kekayaan pengalaman dalam berjuang saja yang beliau wariskan melalui
buku-bukunya.
Rumah tinggal beliau
bersama keluarga besarnya yang terletak di jalan Teuku Umar Jakarta tampak
begitu sederhana dan tak pernah tersentuh renovasi, sangat jauh sekali dari
standar rumah seorang perwira tinggi TNI. Beliau juga telah kehilangan anak
perempuannya yang cantik, Ade Irma, terkena terjangan peluru PKI. Namun sebagai
gantinya beliau dikaruniai umur panjang hingga bisa melihat sendiri pergantian
kekuasaan diantara tokoh-tokoh yang beliau kenal juga (kemerdekaan Indonesia,
Orde Lama – Soekarno, Orde Baru – Soeharto dan Reformasi).
Biodata Jendral
Abdul Haris Nasution
Nama: Abdul Haris
Nasution
Pangkat: Jenderal Bintang
Lima
Lahir : Kotanopan,
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Meninggal: Jakarta, 6
September 2000
Agama : Islam
Istri: Ny Johanna Sunarti
Pendidikan :
= HIS, Yogyakarta (1932)
= HIK, Yogyakarta (1935)
= AMS Bagian B, Jakarta
(1938)
= Akademi Militer,
Bandung (1942)
= Doktor HC dari
Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
= Universitas Padjadjaran,
Bandung (Ilmu Politik, 1962)
= Universitas Andalas,
Padang (Ilmu Negara 1962)
= Universitas Mindanao,
Filipina (1971)
Karir :
= Guru di Bengkulu (1938)
= Guru di Palembang
(1939-1940)
= Pegawai Kotapraja
Bandung (1943)
= Dan Divisi III TKR/TRI,
Bandung (1945-1946)
= Dan Divisi I Siliwangi,
Bandung (1946-1948)
= Wakil Panglima
Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
= Panglima Komando Jawa
(1948-1949)
= KSAD (1949-1952)
= KSAD (1955-1962)
= Ketua Gabungan Kepala
Staf (1955-1959)
= Menteri Keamanan
Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
= Wakil Panglima Besar
Komando Tertinggi (1962-1963)
= Wakil Panglima Besar
Komando Tertinggi (1965)
= Ketua MPRS (1966-1972)
Alamat Rumah :
Jalan Teuku Umar 40,
Jakarta Pusat Telp: 349080
0 komentar:
Posting Komentar