Sesuai dengan janji kami dalam pemabhasan yang kemarin di sini akan dijelaskan secara terperinci makna dan letaknya unsyur maqom
Maqam Taubat
Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum
mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam
lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa
adanya langkah awal yang benar.
Cara
taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur
dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang
salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari.
Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah,
maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia
mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia
segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk
mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai
bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada.
Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu
syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan
hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka
(husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah
perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu
sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa
sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam;
1. Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi.
2. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal
yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul).
Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan
mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan
mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah
demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai
dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām
zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa
cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan
duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah:
”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi
kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan
dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada
mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka
dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau
dapatkan”.
Inti
dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan
kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas
kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang
salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak
memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
- yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan
- saat kenikmatan dunia itu ada.
Ini
dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka
dia akan menghargainya dengan bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut
hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka
dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam
1. sabar terhadap perkara haram,
2. sabar terhadap kewajiban, dan
3. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
- Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
- Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan
- Bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam
sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan
ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan
(angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
- Pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
- Kedua, syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
- Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih
lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2
bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Syhukur ẓāhir adalah melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin
adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah
dari Allah semata.
Manfaat
dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi
langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika
seorang salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah
untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia
menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan
tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika
kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan
itu]).1
Jika
seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah
kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah
hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih
lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu
bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu
kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan
menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah,
syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus
bersyukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena
hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini
dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan
syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk
angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang
diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi
berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula
manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini
manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu
bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus
ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
Maqam khauf
Seorang
salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas
sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki
kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah
berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik,
seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf
seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi
dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari
rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’
tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn
‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu
rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya
berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika
dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat
apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh
pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’
bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika
rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu
hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib
bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan
peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika
rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin
menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan
disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan
bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah
ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika
maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal
juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām
riḍa dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan
kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala
urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia
akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd
ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika
tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa
angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah
berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya,
dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika
sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya.
Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah
riḍa kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan
dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan
pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah
seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna,
daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak
ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.”
Meriḍai
qaḍā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat
disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang
meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat
mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana.
Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati.
Dengan riḍa atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi
tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya
juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi
segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat
mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa
yang akan datang.
Menyerah
kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh
mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan
ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana
firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh.
Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam
al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari
sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah
adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun,
Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah
bahwa dalam maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala
angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang
telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan
balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa
rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang
yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang
dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang
dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”